
Padang, Fakta Hukum Nasional _ 8 APRIL 2025 – "Merakyat". Kata ini begitu akrab di telinga kita, seringkali meluncur dari bibir para kepala daerah dan pejabat, terutama saat mereka turun menyapa warga. Terdengar indah, seolah menjadi jaminan bahwa sang pemimpin begitu dekat, begitu peduli, begitu menyatu dengan denyut nadi kehidupan rakyat biasa. Sebuah kata sakti untuk menarik simpati.
Namun, mari kita bertanya sejenak: apakah "merakyat" ini sudah benar-benar merasuk dalam jiwa dan tindakan para pemimpin kita, atau hanya berhenti sebagai pemanis retorika?
Secara definisi, merakyat berarti memiliki sifat dan perilaku yang dekat dengan rakyat, tidak eksklusif, memahami kebutuhan dan aspirasi mereka, serta tampil sederhana dan rendah hati. Inilah dambaan setiap masyarakat: pemimpin yang tak berjarak, yang kebijakannya lahir dari pemahaman mendalam akan kondisi rakyatnya.
Kenyataan pahitnya, harapan ini seringkali pupus setelah sang pemimpin terpilih. Janji kedekatan menguap, digantikan oleh kepentingan pribadi atau golongan. Tembok eksklusivitas seolah dibangun semakin tinggi. Suara rakyat, yang dulu begitu berharga saat kampanye, kini tak lebih dari sekadar tangga menuju singgasana kekuasaan.
Ujian paling nyata dari sifat "merakyat" seorang pemimpin justru sering terlihat di luar panggung formalitas, misalnya saat mereka berlibur. Di sinilah seringkali kita menyaksikan ironi. Alih-alih memanfaatkan waktu luang untuk membaur tanpa sekat, kesan eksklusif justru kerap ditonjolkan. Ajudan siaga mendampingi, mobil dinas dengan plat merah gagah terparkir di tempat wisata, lengkap dengan pengawalan yang mungkin tak perlu.
Bukankah ini kontradiktif dengan semangat merakyat yang digaungkan? Bukankah seharusnya momen liburan bersama keluarga menjadi kesempatan emas untuk berinteraksi lebih tulus, menggunakan kendaraan pribadi, merasakan langsung suasana keramaian tanpa fasilitas negara yang melekat? Tindakan sederhana seperti ini akan jauh lebih bermakna ketimbang ribuan kata "merakyat" yang diucapkan di podium. Ini tentang menunjukkan kesederhanaan sejati, bukan pencitraan sesaat.
Lebih jauh lagi, penggunaan fasilitas negara seperti mobil dinas untuk kepentingan pribadi saat liburan atau mudik jelas melanggar etika dan bahkan aturan formal. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Nomor 87 Tahun 2005 jelas menggariskan larangan ini demi efisiensi dan disiplin. Pemimpin seharusnya menjadi teladan utama dalam mematuhi aturan, bukan justru menjadi contoh yang sebaliknya.
Sikap dan perilaku sehari-hari seorang pemimpin adalah cermin karakternya. Ke-merakyat-an yang sejati haruslah natural, mengalir dari dalam, bukan sekadar polesan artifisial untuk menyenangkan publik. Menanggalkan atribut kekuasaan dan fasilitas negara saat tidak dalam tugas kedinasan adalah salah satu bentuk nyata dari sikap rendah hati dan keinginan tulus untuk menyatu dengan rakyat.
Sudah saatnya kita semua, terutama para pemimpin, merenungkan kembali makna sesungguhnya dari kata "merakyat". Jangan biarkan ia hanya menjadi slogan kosong tanpa substansi. Rakyat tidak butuh retorika, tapi bukti nyata kepemimpinan yang peduli, sederhana, dan benar-benar berpihak pada mereka, dalam setiap situasi.
Penulis: RoniBose, "Wartawan Biasa"