
Subulussalam, Aceh, Fakta Hukum Nasional Di balik rimbunnya pepohonan dan suara gemericik air sungai di Kota Subulussalam, sebuah kabar mengejutkan sekaligus menyayat hati menyeruak. Impian para perangkat desa untuk meningkatkan kapasitas diri melalui pelatihan, kini justru terancam sirna di tengah badai dugaan korupsi yang mengguncang.
Bagaimana tidak, anggaran fantastis senilai Rp 2,4 miliar, yang seharusnya menjadi modal peningkatan kualitas pelayanan bagi 82 desa, dialokasikan untuk pelatihan pertukangan dan kelistrikan yang jauh dari bumi Serambi Mekah, tepatnya di sebuah hotel mewah di Medan. Angka Rp 30 juta per desa bukanlah jumlah yang kecil, apalagi bagi anggaran desa yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Keresahan ini memuncak di hati para relawan Prabowo Aceh. Adi Subandi, dengan nada kecewa, menyuarakan kepiluan banyak warga. "Presiden Prabowo selalu menekankan efisiensi. Mengapa dana desa yang seharusnya menjadi amanah, justru dihambur-hamburkan untuk kegiatan yang jauh dari jangkauan dan kebutuhan riil desa?" tanyanya dengan nada getir.
Bayangkan saja, di tengah harapan para petani untuk jalan desa yang lebih baik, impian anak-anak untuk sekolah yang layak, atau kebutuhan mendesak untuk fasilitas kesehatan yang memadai, dana sebesar itu justru mengalir ke Medan untuk pelatihan yang sama sekali bisa diadakan di Aceh. Aceh memiliki begitu banyak hotel representatif, begitu banyak ahli di bidang pertukangan dan kelistrikan yang siap berbagi ilmu. Mengapa harus jauh, mengapa harus mahal? Pertanyaan ini terus bergema di benak warga.
Ismail Anak Ampun, Kepala Desa Sikelang, mungkin salah satu dari sekian banyak kepala desa yang berharap pelatihan ini membawa manfaat bagi desanya. Dengan hati tulus, ia telah mentransfer dana dari APBDes, menyimpan harapan akan ilmu baru yang bisa diterapkan di kampung halaman. Namun, di balik harapannya, tersembunyi kecemasan akan transparansi dan akuntabilitas penggunaan uang rakyat ini.
Kini, mata para relawan dan warga tertuju pada para wakil rakyat di DPRK Subulussalam. Mereka memohon agar suara hati mereka didengar, agar wakil rakyat tidak hanya menjadi 'penumpang' partai, namun benar-benar hadir mengawal amanah rakyat dan dana desa yang begitu berharga. Permintaan agar Wakil Gubernur Aceh turun tangan juga menjadi bukti betapa seriusnya persoalan ini.
"Dana desa ini adalah hak masyarakat, bukan panggung sandiwara untuk kepentingan segelintir orang," tegas Adi Subandi. Setiap rupiah dana desa seharusnya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan yang nyata, pelayanan yang berkualitas, dan kesejahteraan yang merata.
Kisah di Subulussalam ini adalah potret buram yang bisa terjadi di mana saja. Diperlukan mata yang awas, hati yang peduli, dan tindakan nyata dari semua pihak untuk memastikan bahwa dana desa benar-benar menjadi oase bagi kemajuan desa, bukan lahan basah bagi praktik yang merugikan. Semoga keadilan dan kebenaran segera terungkap, dan impian desa untuk maju tidak lagi terancam di ujung tanduk..
Humas DPW REPRO Aceh