-->
  • Jelajahi

    Copyright © Fakta Hukum
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Selamat IdulFitri 1445 H

    Iklan

    Iklan

    Praperadilan Usi Gomes versus BBPOM, Saksi Ahli Dr Laurensius sebut Peraturan BPOM No 14 Tahun 2024 Penjual Obat Tanpa izin Edar lewat Medsos Hanya Dikenakan Sanksi Administratif

    Redaksi Fakta Hukum Nasional
    Selasa, 12 November 2024, November 12, 2024 WIB Last Updated 2024-11-12T04:15:38Z
    masukkan script iklan disini
    banner 719x885


    PADANG_ Selebgram terkenal Sumatera Barat Usrianti atau akrab disapa Usi Gomes menghadirkan saksi ahli dalam bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Dr Laurensius Arliman Simbolon, SH., MH., MM., M.Pd., M.Si., M.I. MKN, pada sidang Pra Peradilan yang digelar pada Senin (11/11/2024) di Pengadilan Negeri Kelas 1A Padang, dengan hakim tunggal Said Hamrizal Zufri dengan agenda penyerahan berkas permohonan pra peradilan dari pemohon.  


    Usi Gomes diwakili Kuasa Hukum Ricky Hadiputra SH, Mirza Ardila SH, Ilham Fajri SH dan Ibnu Fadillah Mirza SH dari Kantor Hukum Francis Law Office. 


    Sementara dari pihak BBPOM Padang hadir Tim Kuasa Hukum BPOM Pusat.  


    Dalam keterangannya, Dr Laurensius menyampaikan bahwa BPOM memiki peraturan yang baru keluar, yakni Peraturan BPOM Nomor 14 Tahun 2024. Peraturan ini otomatis mencabut dan membatalkan Peraturan Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang diedarkan secara daring (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 336) dan Peraturan BPOM Nomor 32 tahun 2020 tentang pengawasan obat dan makanan yang diedarkan secara daring (Berita Negara Republik Indonesia nomor 1664). 


    Ia juga menegaskan bahwa Peraturan BPOM nomor 14 tahun 2024 itu dikatakan bahwa pelaku usaha dan atau pihak ketiga yang melakukan pelanggaran menjual obat izin edar secara daring, maka sesuai dengan Pasal 27 ayat 2 dikenakan sanksi administratif berupa a. peringatan; b. peringatan keras; c. larangan mengedarkan untuk sementara waktu; dan/atau d. perintah untuk penarikan kembali obat dan makanan. Sementara pada Pasal 27 ayat 3 juga dijelaskan bahwa Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan oleh Kepala Badan. Serta pada Pasal 27 ayat 4 diungkapkan bahwa Kepala Badan dapat menyampaikan rekomendasi berdasarkan hasil pengawasan Peredaran Obat dan Makanan secara Daring kepada kementerian/lembaga penerbit perizinan berusaha untuk perizinan berusaha yang diterbitkan oleh instansi selain Badan Pengawas Obat dan Makanan.  


    Seterusnya, di Pasal 27 Ayat 5 juga dijelaskan, rekomendasi berdasarkan hasil pengawasan Peredaran Obat dan Makanan secara Daring sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas: a. rekomendasi penutupan Sistem Elektronik; dan/atau b. rekomendasi pencabutan perizinan berusaha. 


     "Jadi sudah jelas bahwa penjual obat tanpa izin yang dilakukan melalui media sosial, hanya dikenakan sanksi administratif oleh BPOM yang mulia," kata Ahli Hukum Universitas Ekasakti Padang ini.  


    Laurensius juga mengungkapkan, Peraturan BPOM ini juga mutlak harus dijalani oleh seluruh internal BPOM. Meskipun ada aturan yang lebih tertinggi mengatur BPOM, yakni Undang-Undang Kesehatan.  


    " Sama juga dengan institusi lain seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Dalam menegakkan aturan, selain mereka berpijak kepada undang-undang yang berlaku, namun mereka juga berpijak pada aturan internal. Kalau Mahkamah Agung memiliki yang namanya Perma (Peraturan Mahkamah Agung) dan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)," katanya.


    Ia menambahkan, Kalau Kejaksaan memiliki yang namanya PERJA (Peraturan Jaksa Agung). Serta institusi kepolisian memiliki yang namanya PERKAP (Peraturan Kapolri).  


    "Peraturan BPOM tidak bisa dicampur dengan peraturan yang ada di institusi MA, Polri maupun kejaksaan. Mereka berjalan sesuai dengan aturan masing-masing," jelasnya.  


    Ia juga menyebut, penetapan Tersangka Terkait dengan penetapan tersangka seseorang, institusi penegak hukum juga harus taat azas praduga tak bersalah, sesuai juga dengan azas lebih baik membebaskan 20 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang tak bersalah.  


    Dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam KUHP, harus ada terlebih dahulu laporan dari masyarakat. Kemudian laporan tersebut ditelaah dulu oleh penyidik dalam sebuah proses penyelidikan. 


    Untuk meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan sampai penetapan tersangka, harus ada gelar perkara yang melibatkan internal, guna diminta pendapat masing-masing. Kecuali penetapan tersangka dalam kondisi mendesak karena kejahatan luar biasa, hal itu bisa dilakukan. 


    Seperti penangkapan pengguna dan pengedar narkoba. Karena narkoba termasuk ordinary crime. Penetapan tersangka juga bisa dilakukan, apabila ada konsumen yang dirugikan, namun memerlukan beberapa proses yang dilewati. Seperti contoh seseorang minum Air Putih yang mengandung merkuri. Kemudian orang tersebut meninggal.   


    "Nah penyidik harus terlebih dahulu mengambil sampelnya untuk diuji pada laboratorium yang berkompeten. Tidak bisa begitu saja menetapkan orang menjadi tersangka," pungkasnya.(kld)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini