-->
  • Jelajahi

    Copyright © Fakta Hukum
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Selamat IdulFitri 1445 H

    Iklan

    Iklan

    Hindari Sanksi Hukum untuk Keberhasilan Pilkada yang Demokratis dan berintegritas

    Redaksi Fakta Hukum Nasional
    Jumat, 01 November 2024, November 01, 2024 WIB Last Updated 2024-11-01T13:55:21Z
    masukkan script iklan disini
    banner 719x885


    LHOKSEUMAWE _. Gendang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 sudah ditabuh di berbagai daerah, kontestas yang akan maju pun kini sudah berstatus sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah masing-masing.


    Gegap gempitanya pun sudah sama-sama kita dengar di lingkungan masing-masing, entah itu di kedai-kedai kopi pinggir jalan, kafe, pasar, pangkalan ojek, hingga ke teras-teras perkantoran.


    Namun di tengah gegap gempita yang terjadi itu, patutlah kita mempertanyakan kembali hal-hal yang harus dilakukan supaya "helat demokrasi" berjalan sebagaimana harapan.

     

    Pilkada tentunya bukan ajang hura-hura yang berjalan dengan sesuka hati, bukan juga suatu perayaan yang riuh-pikuk tanpa punya tujuan sejati. 


    Perlu diingat bahwa Pilkada dilangsungkan dengan uang negara, yang berarti "uang rakyat". Oleh karenanya harus terlaksana sesuai dengan yang dicata-citakan negara.


    Merujuk pada buku Tindak Pidana Pemilu karya Topo Santoso SH MH, dapat diketahui bahwa penegakkan hukum adalah hal yang paling menentukan dalam melaksanakan Pemilihan Umum maupun Pilkada yang bersih dan berwibawa.


    Penegakkan hukum merupakan hal mutlak yang tidak bisa ditawar penerapannya demi menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan Pemilu atau Pilkada. 


    Selain itu penegakkan hukum tindak pidana Pilkada selalu berkaitan dengan tiga hal utama, yaitu kesiapan lembaga-lembaga penegak hukum, penyelesaian perkara atau sengketa, serta efektifitas sistem penegakkan hukum dalam Peraturan Perundang undangan Pemilu. 


    Secara teoritik perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang dan diancam dengan pidana namun dilanggar, hal ini biasanya juga disebut sebagai "Delik".


    Sebelum membahas terlalu jauh, maka sebaiknya kita berkenalan terlebih dahulu dengan dasar hukum pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di Indonesia yaitu: 


    1. UU 1 / 2015;

    2. UU 8 / 2015;

    3. UU 10 / 2016;

    4. UU 6 / 2020, UU NO 6 / 2020 TTG PENETAPAN PERPU NO 2 / 2020 TTG PERUBAHAN KE-3 ATAS UU 1 / 2015 TTG PENETAPAN PERPU NO 1 / 2014 TTG PEMILIHAN GUB, BUPATI DAN WALIKOTA MENJADI UU

    5. PKPU 2 / 2024 ttg Tahapan dan Jadwal Pemilihan;

    6. PKPU 13 / 2024 ttg Kampanye Pemilihan; 

    7. PKPU 14 / 2024 ttg Dana Kampanye Peserta Pemilihan


    Sedangkan di Aceh juga terdapat Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2024 tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 12 tahun 2016 tentang Pemilihan.


    Kemudian Kep KIP Aceh Nomor 7 tahun 2024 tentang Tahapan dan jadwal pemilihan, Kep KIP Aceh Nomor 33 tahun 2024 tentang Pedoman teknis Kampanye pemilihan, Kep KIP Aceh Nomor 39 tahun 2024 tentang perubahan Kep KIP Nomor 35 tahun 2024 tentang Pembatasan pengeluaran dana kampanye pemilihan.


    Dalam pemilihan kepala daerah, kepala desa dan perangkat desa dapat dikenai sanksi pidana bila terbukti melakukan pelanggaran dengan melakukan keputusan seperti kegiatan-kegiatan, serta program di desa dan juga melakukan perbuatan atau tindakan yang mengarah keberpihakan kepada salah satu pasangan calon,


    atau calon kepala daerah yang terindikasi merugikan calon lain misalnya ikut serta dalam kegiatan kampanye. 


    Demikian juga, Calon kepala daerah yang melibatkan kepala desa dan perangkat desa dapat dikenai sanksi pidana sebagai calon kepala daerah. 


    Selain itu subjek atau pelaku tindak pidana yang lainnya adalah subjek hukum (pelaku) tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yaitu: 


    1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;

    2. Peserta pemilu yaitu Pengurus Partai Politik, Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden, Calon Anggota DPR, DPD, DPRD, Pasangan Calon Gubernur, Bupati, dan Walikota serta Tim Kampanye 

    3. Pejabat Tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; 

    4. Profesi Media cetak/elektronik, Pelaksana Pengadaan Barang, Distributor; 

    5. Pemantau dalam negeri maupun asing; 

    6. Masyarakat pemilih, pelaksana survei, hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai setiap orang.


    Jika dikelompokkan maka ada empat jenis pelanggaran dalam Pilkada;


    1.Pelanggaran Kode Etik Pilkada

    Pengertian pelanggaran kode etik dalam Pilkada adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggaraan pemilihan yang berpedoman pada sumpah dan atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu/Pilkada.


    Rekomendasi terkait penanganan atas pelanggaran kode etik dalam penyelenggaraan Pilkada diteruskan oleh Bawaslu kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).


    2. Pelanggaran Administrasi Pilkada

    Pengertian pelanggaran administrasi dalam Pilkada adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan penyelenggaraan.


    Rekomendasi terkait penanganan atas pelanggaran administrasi dalam penyelenggaraan Pilkada diteruskan oleh Bawaslu kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai tingkatan.


    3. Pelanggaran Administrasi Bersifat TSM

    Pengertian pelanggaran administrasi dalam Pilkada yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masih (TSM).


    Rekomendasi terkait penanganan atas pelanggaran administrasi dalam penyelenggaraan yang bersifat terstruktur, sistematis dan masih (TSM) diterima, diperiksa, dan diputuskan laporannya oleh Bawaslu Provinsi.


    4. Pelanggaran Tindak Pidana Pilkada

    Pengertian pelanggaran tindak pidana dalam Pilkada adalah pelanggaran dan atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilihan sebagaimana diatur Undang-Undang (UU) tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. 


    Rekomendasi terkait penanganan atas pelanggaran tindak pidana dalam penyelenggaraan Pilkada diselesaikan oleh Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) yang telah dibentuk oleh Bawaslu.


    Sanksi pidana adalah pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan pidana, melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan atau hukum secara khusus di berikan untuk hal ini, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapakan orang tidak melakukan tindak pidana lagi.


    Selain pelanggaran di atas juga terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. 


    Ini adalah pelanggaran yang berdasarkan hasil kajian, dikategorikan bukan sebagai dugaan pelanggaran Pemilu/Pilkada, tetapi termasuk pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 


    Penanganan pelanggaran ini direkomendasikan oleh Bawaslu kepada instansi yang berwenang.


    Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada diatur ketentuan mengenai tindak pidana yang diatur dalam Bab XXIV tentang Ketentuan Pidana, terdiri dari empat puluh empat (44) Pasal mulai dari pasal 177 sampai dengan 198 A.


    Dalam 44 pasal tersebut digambarkan bentuk-bentuk tindak pidana Pemilu dalam Pemilukada seperti: 


    1. Perbuatan Memberikan Keterangan Yang tidak benar atau palsu, memalsukan surat data dan daftar`pemilih, dan tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi sebagaimana diatur dalam pasal 177,177A, 177B, 177C, Pasal 179, Pasal 184, Pasal 185, Pasal 185A, Pasal 185B dan Pasal 186, Pasal 186A.


    2. Perbuatan mengaku sebagai orang lain, merintangi hak orang lain, melakukan tipu muslihat dan merusak atau menggagalkan hasil pemilihan dan pemungutan suara sebagaiman termuat dalam pasal 178, 178A sampai 178H, pasal 180, 181, pasal 182, Pasal 182A, 182B, dan pasal 183.


    3. Perbuatan Melanggar Ketentuan kampanye yang diatur dalam pasal 187


    4. Perbuatan melakukan suap dan menerima suap yang diatur dalam pasal 187A, 187B, 187C, dan pasal 187D 


    5. Pelanggaran terhadap Netralitas ASN, TNI dan POLRI diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 189 


    6. Perbuatan merubah jumlah surat suara diatur dalam pasal 190 dan 190A 


    7. Perbuatan yang dilakukan oleh calon gubernur, calon bupati, calon wali kota dan partai politik atau pimpinan partai politik yang mengundurkan diri dan menarik calonnya dalam penyelenggaraan Pemilu yang telah berjalan, diatur dalam pasal 191 dan 192


    8. Perbuatan melanggar ketentuan pemilihan lainnya yang dilakukan oleh KPU, KPPS, PPS dan Panwas yang diatur dalam pasal 193, 193A, pasal 194, pasal 195, pasal 197, pasal 198 dan 198A.


    Tahapan pelaporan telah terjadinya tindak pidana Pilkada beberapa langkah prosedural yang harus diikuti oleh pihak yang merasa dirugikan atau menemukan pelanggaran yaitu:


    1. Pengumpulan bukti. 

    Pihak yang merasa dirugikan atau menemukan adanya pelanggaran harus mengumpulkan bukti yang cukup kuat. Bukti tersebut bisa berupa dokumen, saksi, rekaman video, atau foto yang mendukung klaim adanya pelanggaran.


    2. Pembuatan laporan. 

    Setelah bukti dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah membuat laporan resmi tentang pelanggaran tersebut. Laporan ini biasanya berisi detail tentang siapa yang melakukan pelanggaran, jenis pelanggaran, waktu, dan tempat kejadian.


    3. Pengajuan laporan ke Bawaslu. 

    Laporan pelanggaran diserahkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat kabupaten atau kota atau provinsi, sesuai dengan Lokasi. Laporan ini harus diajukan dalam waktu tertentu setelah pelanggaran terjadi.


    Laporan pelanggaran Pilkada disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui terjadinya dugaan adanya pelanggaran Pilkada.


    Pilkada yang baik mencakup berbagai aspek untuk memastikan pemilihan kepala daerah berlangsung secara adil, transparan, dan akuntabel. 


    Mengedukasi diri tentang hukum bukan hanya sekedar menghindari sanksi, tetapi juga berkontribusi pada keberhasilan Pilkada yang demokratis dan berintegritas..


    Oleh Dr (Can) Therry Gutama, SH, MH.     Kasi Intelijen Kejari Lhokseumawe (Jaksa)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini