PADANG _ Slogan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yaitu “Melindungi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat”. Sebuah slogan yang menenangkan telinga namun menggelitik untuk dikaji ulang kenyataannya.
Slogan tersebut bukan hanya sebuah palang besar yang tertulis didepan kantor kepolisian saja, atau terpampang dibaliho besar persimpangan, akan tetapi merupakan amanat konstitusi, disebutkan secara eksplisit dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 30 ayat (4), kemudian dalam Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan peran Polri untuk “memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Bahkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia kata “pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” diatur dalam 4 pasal yaitu pasal 2, 4, 5 dan 13.
Sebuah kalimat yang disusun dengan maksud penyampaian pesan kepada masyarakat bahwa ini loh, fungsi kepolisian. Seolah slogan tersebut menjelaskan bahwa negara membentuk, menjamin, dan ‘membayar’ kepolisian dan pihak pihak didalamnya yang bertindak sebagai bagian dari sebuah penegakan hukum adalah untuk menjadi ‘pelayan’ masyarakat dalam menegakkan hukum itu sendiri.
Sebelum melangkah lebih dalam, mengenai paradoks ini mari didasari dahulu pandangan kita dalam melihat hukum, penegak hukum, dan proses penegakannya. Sederhananya, berhasil atau tidak sebuah negara mewujudkan definisi “negara hukum” tidak dari sebarapa bagus dan adilnya Peraturan perundang-undangan yang berhasil disahkan. Tapi bagaimana jalannya suatu hukum dalam Masyarakat, mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa manusia gagal untuk mentaati hukum tersebut. Jika kita mengkaji dari sudut pandang sosiologi hukum, maka jelas bahwa keterkaitan antara masyrakat, peraturan dan undang-undang serta penagak hukum, adalah 3 komponen yang akan menenutukan hukum seperti apa yang tampak dalam kenyataan sehari-hari. Saya menganalogikan seperti melukis. Kanvas adalah Masyarakat, kuas dan cat adalah aturan dan tangan sebagai penagak hukum. Jika kuas dan catnya tidak bagus atau rusak maka selihai apapun tangan melukis maka hasilnya tidak akan sempurna, begitupun sebaliknya sebagus apapun kuas dan catnya jika tangan yang mengerjakan bukan ahlinya atau tidak baik mengerjakannya tetap saja hasilnya adalah lukisan yang cacat. Jadi, aturan yang telah dibuat melalui proses hukum yang baik pasti akan melahirkan aturan yang jelas dan benar. Nah, aturan yang sudah bagus ini mesti diiringi dengan proses penegakan yang lurus dan berkeadilan, dan penegak hukumlah yang berperan penting sebagai penggeraknya.
Pertanyaannya, bagaimanakah peran kepolisian saat ini sebagai salah satu penagak hukum? Benarkah slogan “Melindungi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat” ini terwujud nyata ? fakta dilapangan dan kasus menjawab.
Baru-baru ini sebuah kasus yang cukup menggemparkan, soarang bocah ditemukan tewas di bawah kolong jembatan kuranji tepat pada Minggu menjelang siang 9 Juni 2024. Mulanya pihak kepolisian mejelaskan kematian bocah adalah akibat tauran. Usut punya usut keluarga korban mulai menyadari adanya kejanggalan atas kematian korban. Benar saja, hasil otopsi menunjukan adanya bekas lebam, tulang patah dan memar pada tubuh korban. Kesaksian korban lain dan fakta akhirnya megungkap kebenaran, bahwa afif meninggal akibat adanya dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh beberapa oknum polisi hingga tewas, belasan anak dibawah umur mengalami luka luka akibat disiksa secara tidak manusiawi oleh oknum polisi.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memastikan untuk kasus tewasnya siswa SMP bernama Afif Maulana di Kuranji, Padang, di usut secara profesional dan transparan. Mantan Kabareskrim Polri itu mengatakan, proses etik atas 17 anggota Polri yang diduga terlibat kasus Afif, menjadi bukti transparansi Polri.
Lantas kepercayaan apa lagi yang bisa diharapkan oleh masyarakat? Kasus afif ini adalah salah satu contoh kasus diantara sekian banyak kasus pelanggaran kode etik dan hukum lainnya yang dilakukan oleh oknum polri. Belum lagi kasus kasus yang tersembunyi yang tidak muncul ke media masa. Hal ini tentu semakin memperburuk stigma masyarakat terhadap polri sebagai penegak hukum. Bagaimana bisa masyarakat yang menaruh harap atas perlindungan keselamatan diri mereka justru menelan kenyataan pahit bahwa keluarga mereka tewas ditangan oknum yang berstatus penegak hukum.
Bagaimana mungkin seseorang yang berpendidikan, paham hukum, paham aturan yang diberitanggung jawab oleh negara untuk mengemban amanah dalam mewujudkan negara hukum yang mampu melindungi masyarakatnya justru berbuat kejahatan? Apakah seorang polisi hanya dituntut untuk pintar, cerdas, kuat dan tegas saja? Tidakkah dituntut untuk bekerja dengan hati nurani dan prikemanusiaan?
Bahkan ketentuan mengenai kode etik polisi sudah tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. Lantas tidakkah para oknum polisi yang cacat hukum ini membaca dan memahami isinya? Secara garis besar, isi dari Kode Etik Profesi Polri mengatur tentang hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri dalam menjalankan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya. Kode etik menjadi bentuk antisipasi Polri terhadap berbagai penyimpangan polisi di Indonesia.
Seorang polisi semestinya tak hanya bekerja dengan otot. Bahkan menurut Satjipto Rahardjo, guru besar emeritus dalam bidang hukum, seorang polisi sejati adalah ia yang bekerja dengan otak dan seringkali mengedepankan hati nuraninya dalam melayani masyarakat. Tidak melakukan sebuah tindakan atas dasar emosi, amarah dan keangkuhan.
Jadi, “melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat”ini akankah tetap menjadi slogan? Atau memang pesan untuk meyakinkan masyarakat agar kembali menaruh kepercayaan dan harapan?.
Referensi :
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000.
Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.
Penulis : Sri Dahlia Andika (Mahasiswi Hukum Ekonomi Syariah UIN Imam Bonjol Padang)